Oleh Rahmat Hidayat Lubis, Mahasiswa Faculty of Islamic Call Tripoli Libya
Keterbatasan Akal dan Kebutuhan Fitrah
Berbagai penemuan Ilmiyah dan berbagai produk teknologi hasil karya manusia selalu mengalami kelemahan dengan berjalannya waktu, teknologi canggih abad 18, akan menjadi teknologi tertinggal di abad 20. Demikian halnya teknologi saat ini, ia akan menjadi karya yang basi pada beberapa abad ke depan. Begitulah kiranya character otak manusia, ia terbatas dengan iringan waktu dan sangat berpotensi untuk memiliki kekurangan.
Akal adalah out put kerja otak. Dan otak manusia adalah salah satu organ yang serupa dengan organ lainnya. Ia memiliki keterbatasan jangkauan layaknya telinga yang tidak sanggup mendengar gelombang suara berfrekuensi rendah dan mata yang tidak sanggup menembus sitar benda yang menghalanginya. Keterbatasan radius yang dapat di jangkau akal, menyebabkan akal tidak sanggup menembus zat Tuhan, karena zat Tuhan berbeda dengan zat manusia.
Secara otomatis, manusia akan sulit memahami zat Tuhan jika hanya dengan kekuatan akal. Pemaksaan terhadap akal untuk memikirkan zat Tuhan hanya memplagiat pemikiran filsafat teologi Yunani yang tidak berakhir pada kesimpulan. Dengan berbagai eksperiment ilmiyah, Akal hanya mampu berkesimpulan bahwa dunia dan seisinya tidak mungkin timbul secara sendirinya, Ia pasti memiliki Pencipta. Kemudian akal mencoba mencari siapa Sang Pencipta tersebut.
Pada proses pencarian, akal-akal manusia hanya menunjukkan variabel ketidakpastian, variabel ini akhirnya tanpa sadar menundukkan akal itu sendiri. Ketika akal tunduk, hati (bac. keyakinan) mulai berperan dan seketika itulah muncul agama-agama yang berbeda Tuhan. Ada Tuhan roh, Tuhan patung, Tuhan matahari, Tuhan Api dan lain sebagainya. Secara logika, akal sangat sulit menerima bahwa roh, matahari, patung dan Api adalah Tuhan yang sebenarnya. Namun kesulitan akal untuk menerimanya diobati dengan kebutuhan fitrah. Fenomena ini mununjukkan bahwa terdapat Fitrah dalam hati manusia, yaitu fitrah pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Mengenal Tuhan Melalui Rasul
Akal telah gagal mencari siapa Tuhan sebenarnya, namun kegagalan akal tidak dapat menghentikan kebutuhan Fitrah untuk mencari-Nya. Dan Tuhan tentunya lebih mengetahui kondisi ciptan-Nya, ia memberikan akal yang tidak sangup memikirkan zat-Nya dan juga memberikan fitrah yang selalu mencari zat-Nya. Merespon kelemahan akal dan kebutuhan fitrah, Tuhan tidak meninggalkan manusia tersesat begitu saja. Dengan kasih sayang-Nya Ia mengutus delegasi untuk memperkenalkan Zat-Nya.Delegasi inilah yang kita kenal dengan sebutan Rasul dan Nabi.
Para delegasi pun tidak di utus tanpa bekal, mereka dibekali suatu hal –kemampuan- yang manusia biasa tidak bisa melakukannya, yaitu mukjizat. Kisah sayembara para penyihir Fir’aun dengan Nabi Musa ‘alaihissalam adalah contoh sederhana dari mukjizat ini. Ketika Fir’aun memerintahkan para penyihirnya untuk menampilkan atraksi, mereka segera melemparkan tongkat dan seketika itu tongkat berubah menjadi ula-ular yang sama besar denga tongkat tersebut.
Kemudian saat tiba giliran Musa melemparkan tongkatnya, tongkat berubah menjadi ular besar yang memakan semua ular-ular kecil milik penyirhir Fir’aun. Keajaiban itu, membuat para penyihir Fir’aun –yang ahli persihiran- mengakaui bahwa atraksi Musa adalah di luar kemampuan manusia biasa. Sketika itu juga, mereka tersungkur dengan bersujud seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa. (Lih. Thaahaa: 65-71). Subhanallah..!!! demikianlah cermin reaksi Fitrah ketika menemukan Tuhan yang sebenarnya. Fitrah ini membuat manusia tersungkur dan bersujud.
Ketika Allah mengutus Rasul, keterbatasan akal terjawab dan kebutuhan Fitrah mansuia terpenuhi. Manusia mulai mengenal jalan kebenaran dan beribadah dengan tuntunan yang benar. Tata cara dan bacaan Ibadah langsung diajarkan Oleh Tuhan melalui delegasi-Nya. Praktek persembahan sesajen kepada roh, menaruh darah di tempat khusus, menyembah patung dan sujud kepada matahari serta api yang kesemuanya adalah bentuk ibadah produk manusia, telah digantikan dengan tata cara ibadah produk Ilahi. Yaitu, dengan cara yang suci, bacaan yang suci dan keadaan jasmani yang suci.
Mengenal Tuhan melalui Wahyu Ilahi
Para delegasi, selain dibekali mukjizat juga dibekali kitab suci yang menyimpan hakikat zat Tuhan. Kitab itu juga berisi tentang tata cara berinteraksi manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan manusia bahkan manusia dengan alam sekitarnya. Ibrahim dibekali dengan shuhuf, Daud dengan Zabur, Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil. Kitab-kitab inilah sesungguhnya yang berperan sebagai pembimbing fitrah dan akal dalam mencari Tuhan-Nya pasca sepeningglan para Rasul. Karena Rasul juga adalah manusia biasa, ia pasti akan mengalami kematian, namun kitab akan tetap “awet” seiring perkembangan zaman.
Sepeninggalan Musa hanya Tauratlah yang mampu menjawab keterbatasan akal dan mememuni kebutuhan fitrah dalam menemukan Tuhan yang sebenarnya. Namun kitab tersebut mengalami distorsi oleh tangan-tangan generasi setelah nabi Musa ‘alaihissalam. Sehingga manusia kembali tersesat, Di saat tersesat Allah kembali menurunkan para Nabi; iLyas, Ilyasa, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Yunus, Zakariya, Yahya dan sampai akhirnya tiba masa Nabi Isa ‘alaihissalam. Pasca sepeninggalan Nabi Isa, Injil mengalami hal yang sama dengan Taurat. Penyimpangan yang dilakukan pengikut Musa dan Isa terhadap Injil dan Taurat, menghilangkan peran kitab-kitab tersebut sebagai petunjuk kebenaran. Hasilnya, manusia kembali tersesat
Eksperimen ilahi telah membuktikan. Pasca menigggalnya Nabi Isa ‘alaihissalam, selama 600 tahun Allah tidak mengutus Rasul untuk menunjukkan jalan kebenaran sementara kitab suci telah mengalami distorsi. Namun fakta mengabarkan, manusia gagal. Pada masa 6 abad ini, banyak manusia yang kembali menyembah patung-patung dan berhala. Kaum Masehi juga mengalami problema teologi pada akhir abad ketiga setelah kematian Isa.
Mengatasi Problema ini, terpaksa mereka selesaikan dengan cara melakukan Konfrensi Nicea pada 325 M. pada titik ini, suatu kesalahan besar dilakukan pengikut masehi, yaitu mengenyampingkan kitab suci dalam memahami Teologi. Sehingga timbul Konsep Trinitas yang selanjutnya dicantumkan ke dalam kitab suci mereka versi distorsi. Aliran Masehi yang masih berpegang keyakinan monoteisme seperti, Arius, Abiun dan Syimsyati, kian runtuh pasca penetapan konsep Trinitas di kalangan pemeluk Masehi.
Peralihan Konsep Tuhan yang dialami penganut Masehi dari monoteis menuju Trinitas adalah dampak dari kesalahan berpijak. Ketika akal dijadikan dasar berpijak dalam memahami teologi, kemudian kitab suci dijadikan notebook untuk mencatat buah pemikiran teologi yang dihasilkan, maka akan terjadi kesenjangan pada konsep teologi yang dihasilkan. Karena lagi-lagi akal tidak akan pernah mampu merumuskan konsep Teologi. Sebaliknya, ketika Kitab suci dijadikan dasar berpijak, maka manusia tidak akan pernah mengalami problema teologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar